Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan Rawa Pasang Surut


Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau utama, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas lahan rawa di Indonesia sekitar 33,40 juta hectare, yang terdiri atas rawa pasang surut 20 juta hektere dan rawa lebak 13,40 juta hectare. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program tranmigrasi yang dmulai pada tahun 1969 melalui proyek pembukaan persawahan pasang surut (P4S).

Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis untuk mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa akibat alih fungsi ke sector non-pertanian, seperti perumaha dan industry, menurut suriadikerta (1999), pembukaan lahan rawa mencapai 2,40 juta hectare, yaitu 1,50 juta hectare di pulau Kalimantan dan 0,90 juta hectare di pulau Sumatera. Sementara itu, lahan rawa di Papua hingga saat ini belum di buka untuk lahan pertanian.


Potensi lahan kelapa sawit secara langsung dapat dimanfaatkan untuk menunjang program peningkatan ketahanan pangan dan agrobisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Hal ini sesuai dengan yang di sampaikan Mentri Pertanian pada tahun 1999, bahwa  lahan rawa, baik rawa pasang surut maupun lebak dapat menjadi basis pengembangan ketahanan pangan untuk kepentingan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Karena itu, investasi pemerintah dan swasta untuk pemanfaatan lahan rawa perlu di perlu terus di tingkatkan.

Indonesia merupakan Negara ke empat yang memiliki laha rawa terluas di dunia, tetapi pemanfaatan dan pengembangan nya masih sangat terbatas. Di Asia, termasuk Indonesia, lahan rawa lebih banyak dimanfaatkan untuk perkembangan pertanian. Di balik potensi besar, lahan rawa pasang surut termasuk lahan marjinal dan dapat degradasi.

Lahan pasang surut yang telah dbuka di Sumatera telah terindentifikasi memiliki deskripsi dan klarifikasi tanah yang sesuai dengan tanman kelapa sawit apabila genangan air dapat di kelola dengan baik. Lima jenis tanah yang didenfikasi terdapat di lahan pasang surut yaitu alluvial tionik, gleisol histik, gleisol eutrik, gleisol tionoik dan organosol saprik.

Tanah aluvial merupakan tanah yang dicirikan oleh warna matriks tanah abu-abu terang (7,5 YR7/1),  warna bercak tanah kuning (10 YR 8/6), tekstur tanah liat, konsistensi tanah agak lekat, serta banyak perakaran halus dengan pori mikro sedang dan pori makro yang sedikit.

Tanah gleisol dicirikan dengan adanya horizon sulfuricatau bahan sulfudik pada kedalaman kurang dari 125 cm dengan warna matriks cokelat (10 YR 4/3), tekstur tanah lempung liat berdebu, konsistensi tanah agak lekat, serta memiliki pori mikro dan pori makro sedikit

Tanah organosol oleh bahan saprik sedalam 50 cm atau berlapis samapi 80 cm dari permukaan tanah dengan kedalaman solum gambut kurang dari 100 cm dengan warna gambut abu-abu sangat gelap (10 YR 3/2) hingga cokelat sangat gelap (7,5 YR 2,5/2) dengan tingkatan kemantangan gambut sapris.


Gambut terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir setiap tahun. Selain itu, kondisi udaranya menjadi anaerob akibat keadan hidrologi-topografi berupa genangan dan ayuna pasang surut. Keadaan gambut yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikroorganisme yang diperlukan untuk proses degradasi, sehingga laju penimbunan bahan organik lebih besar dibandingkan mineralisasinya. Laju penimbunan gambut diperngaruhi oleh keadan topografi dan curah hujan. Tanah gambut memilki kandungan fraksi lanau (slit) yang rendah. Selain itu, laju air hujan di lokasi gambut umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kehilangan air.  



No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *

Back To Top